LOKASI PENGAMATAN
Dusun Sijemblung Desa Sampang,kabupaten
Banjarnegara (7° 17´LS 109°43´BT 931 m dpl), pada wilayah pegunungan (elevasi
sekitar 900 meter) Jumat (12/12/2014).
1.1
FISIOGRAFI BANJARNEGARA
Mengacu pada pembagian fisiografi Jawa Tengah (van Bemmelen, 1949), maka
wilayah Banjarnegara yang
meliputi Kecamatan Karangkobar
termasuk dalam Zona Pegunungan Serayu Utara bagian tengah. Secara bentukan
bentang alam atau unit geomorfologi daerah sekitar wilayah Banjarnegara. Menurut klasifikasi van
Zuidam (1983) secara umum dapat dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi,
antara lain berupa: Satuan Geomorfik Fluvial dengan Subsatuan Dataran Banjir,
Satuan Geomorfik Bentukan Struktur, serta Satuan Geomorfik Volkanik dengan
Subsatuan Geomorfik Endapan Lahar.
1.1.1 TOPOGRAFI
Kondisi topografi secara umum memperlihatkan
keadaan yang bergelombang cukup kuat dan curam, di mana keadaan yang demikian
ini diakibatkan oleh kontrol struktur geologi dan kondisi litologi/batuan
penyusunnya. Sedangkan kontrol struktur geologi yang terekam dalam Peta Geologi
Regional didominasi sesar-sesar normal, sesar geser dan sesar naik.
Kestabilan wilayah Kabupaten Banjarnegara sangat dipengaruhi dan
dikontrol oleh kondisi geologi yang ada, yaitu batuan dan struktur geologi yang
kompleks serta topografi yang berelief kuat serta bervariasi.
1.1.2 LITOLOGI
Menyimak faktor kondisi geologi yang menyusun
wilayah Banjarnegara berdasarkan Peta Geologi Lembar Banjarnegara
dan Pekalongan, Jawa skala 1:100.000 (terbitan PSG Bandung Tahun 1996), maka
wilayah zonasi bencana gerakan tanah (longsoran) yang terjadi di sekitar
wilayah Dusun Sijemblung Desa Sampang tersusun oleh litologi yang berupa:
1. Titik awal (Mahkota atau source area) longsoran, kemungkinan berupa
litologi dari Anggota Lempung Formasi Ligung (QTlc) yang didominasi oleh batu
lempung tufan dan batu pasir tufan (tuffaceous claystone and tuffaceous
sandstone), dan batuan volkanik Kuarter yang telah lapuk lanjut (strong
weathered), dapat berupa berupa batuan piroklastika dan breksi aliran, sesuai
dengan posisi penyebaran Peta Geologi Regional, di mana lokasi longsoran
tersusun oleh litologi QTlc (warna hijau) dan litologi Qjm (warna coklat pada
Peta Geologi).
2. Tempat material longsoran terendapkan (depositional toe),
kemungkinan pada daerah dengan peruntukan lahan sebagai daerah sawah irigasi
berbentuk teras/undak yang didominasi oleh litologi batuan volkanik Kuarter
(endapan lahar) dan alluvium berupa Qjo (warna coklat pada Peta Geologi).
Secara umum kondisi Geologi penyusun daerah longsoran di Dusun
Sijemblung Desa Sampang meliputi beberapa satuan/formasi (dari tua ke muda)
yaitu : Formasi Rambatan (Tmr, warna kuning pada Peta Geologi) yang tersusun
oleh litologi batuan sedimen detritus halus berupa serpih, napal dan batupasir
gampingan; Batuan Terobosan berupa gabro (Tmpi) dan diorite (Tmd) dengan warna
merah pada Peta Geologi; kemudian batuan berumur Kuarter berupa Anggota Lempung
Formasi Ligung (QTlc) yang tersusun oleh litologi batulempung tufan dan
batupasir tufan; dan yang menutupi bagian atas paling muda tersusun oleh
Batuan-batuan Gunungapi Jembangan yang didominasi oleh lava andesit dan batuan
klastika gunungapi (Qjm, Qjo, dan Qjya).
1.2
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAP LONGSOR
Kondisi alam (geografis) dan aktivitas manusia
merupakan salah satu faktor penyebab akan terjadinya gerakan tanah tersebut.
Faktor alam yang menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain yang
paling mendasar adalah tingginya curah hujan, kondisi tanah, intensitas
pelapukan batuan (tinggi hingga sangat tinggi), vegetasi penutup, dan faktor
kestabilan lereng, selain faktor kegempaan sebagai pemicunya.
Pertama, morfologi daerah bencana dan
sekitarnya yang secara umum berupa perbukitan dengan kemiringan landai hingga
terjal. Berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah Terjadi Gerakan Tanah Provinsi Jawa
Tengah Desember 2014 versi Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, daerah tersebut termasuk zona potensi terjadi gerakan tanah
Menengah sampai Tinggi.
Sehingga pada daerah tersebut dapat terjadi longsor jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan tinggi, dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Sehingga pada daerah tersebut dapat terjadi longsor jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan tinggi, dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Kedua, litologi yang diperkirakan
bersifat sarang dengan daya resap air yang tinggi, yaitu berupa lahar dan
endapan alluvium dari bahan rombakan gunung api, aliran lava dan breksi, dengan
batuan dasar yang berupa aglomerat bersusunan andesit, lava andesit hornblenda,
dan tuf.
Ketiga, curah hujan yang tinggi dan lama
pada saat dan sebelum kejadian longsor juga turut berkontribusi menggerakkan
tanah ke pemukiman penduduk. Tanah longsor dapat juga terjadi karena adanya
peningkatan kandungan air pada lapisan tanah pelapukan yang bersifat porous
seiring dengan curah hujan yang tinggi (sangat tinggi), sehingga terjadi
penjenuhan pada tanah pelapukan dan batuan permukaan. Penjenuhan ini
mengakibatkan bertambahnya bobot masa tanah dan meningkatnya tekanan pori,
sehingga tahanan geser menjadi berkurang. Banyaknya volume material rombakan
yang kemudian tercampur dengan air sungai yang dilaluinya mengakibatkan viskositas
semakin meningkat, sehingga aliran bahan rombakan ini menjangkau areal yang
cukup jauh dan merusak serta menimbun sarana dan prasarana yang dilaluinya.
Faktor lain, kemungkinan dari faktor hidrogeologi yang berpengaruh
dalam gerakan tanah adalah sifat resapan air/permeabilitas tanah di lokasi
longsoran yang relatif kecil.
faktor aktivitas manusia juga dapat
menjadi penyebab terjadinya gerakan tanah, sebagai contoh misalnya penggunaan
lahan yang tidak teratur dan tidak tepat peruntukannya, seperti pembuatan areal
persawahan pada lereng yang terjal, pemotongan lereng yang terlalu curam,
penebangan hutan yang tidak terkontrol, dan sebagainya.
1.2.1 BIDANG GELINCIR
Kontak antara tanah pelapukan yang cukup
tebal dengan litologi batulempung tufan . Kemiringan lereng yang terjal
(biasanya >45°) semakin memperkuat untuk terjadinya keruntuhan. Hal ini yang
membuat daerah banjarnegara dan sekitarnya sering mengalami terjadinya tanah
longsor karna faktor fisiografi dan kelerengan yang cukup terjal.
1.2.2 JENIS LONGSORAN
YANG BERKEMBANG
1.Longsoran
Translasi
Longsoran
translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.
2.Longsoran
Rotasi
Longsoran
rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk cekung.
Jika bidang gelincirnya berbentuk
cekung, maka tanah longsor bertipe rotasional pun terjadilah. Longsor
rotasional cukup khas karena mengandung energi besar sehingga saat segenap
lereng merosot, ia mampu meloncatkan kaki lereng (lidah longsor) hingga
beberapa puluh atau bahkan beberapa ratus meter dalam kecepatan cukup tinggi
sebelum menyentuh tanah. Sementara puncak lereng (mahkota longsor) mungkin
hanya beringsut beberapa meter hingga beberapa puluh meter. Loncatan ini sangat
sulit dihindari.
1.3 DAMPAK BENCANA
Titik-titik air hujan yang sangat
deras meredam segenap kabupaten tersebut sejak sehari sebelumnya. Stasiun
geofisika kelas III Banjarnegara yang dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan sepanjang Kamis 11 Desember
2014 TU mencapai 112,7 milimeter. Dan sehari kemudian curah hujannya masih
sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja saja intensitas hujan yang
mengguyur seantero Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter. Di waktu-waktu
lalu, pada umumnya curah hujan sebanyak itu membutuhkan waktu sebulan Desember
penuh (rata-rata) dalam menjatuhi segenap Banjarnegara. Jelas sudah, dengan
volume air hujan yang setara dengan yang rata-rata diguyurkan selama 31 hari
penuh, hujan sepanjang 11 hingga 12 Desember 2014 di Banjarnegara
berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim.
Luas kawasan yang terkena hantaman
longsor dalam bencana dahsyat ini mencapai tak kurang dari 15 hektar dan
sebagian menyumbat Sungai Petir, salah satu anak sungai Merawu dalam DAS (daerah
aliran sungai) Serayu. Hingga Minggu 13 Desember 2014 TU, tim evakuasi yang
kini sudah beranggotakan lebih dari 2.000 orang dari segenap eksponen relawan
telah menemukan 42 jasad korban. Dari perkiraan 108 jasad yang terkubur, maka
masih ada 66 orang yang belum ditemukan. Ribuan penduduk baik dari desa Sampang
maupun desa-desa sekitarnya telah diungsikan ke tempat-tempat pengungsian
sementara, seiring Gunung Telagalele dan bukit-bukit lainnya di sini yang
masih labil. Nama Jemblung dan Sampang pun sontak menjadi episentrum perhatian
hingga skala nasional.
Kekhasan ini masih ditambah dengan
terus bergeraknya kawasan Karangkobar-Merawu akibat desakan dari dalam dari
arah selatan. Desakan yang masih terus berlangsung membuat lempung dan napal
seakan diremas-remas. Sejumlah gunung batu relatif padat, yang adalah sisa
intrusi magmatik nun jauh di masa silam dan relatif tahan terhadap pengikisan
oleh cuaca, pun turut terdorong oleh desakan tersebut hingga terputus dari
akarnya. Situasi ini kian menambah rapuh lempung dan napal di segenap kawasan
Karangkibar-Merawu. Tak heran jika tingkat erosi di sini demikian tinggi,
bahkan meskipun vegetasi (tumbuhan) berkayu yang rapat masih menutupi
lereng-lerengnya dengan baik. Tanah pucuk (topsoil) yang dihanyutkan air
lantas mengalir ke sungai-sungai kecil yang menjadi bagian sub-DAS Merawu.
Hampir tiga perempat abad silam geolog legendaris van Bemmelen menyebut Sungai
Merawu adalah sungai paling berlumpur di Indonesia. Tingginya erosi di
sub-DAS Merawu memberikan kontribusi cukup besar bagi sedimentasi Waduk
Panglima Besar Sudirman. Setiap tahunnya waduk ini dimasuki sedimen sebanyak
2,4 juta meter kubik. Sedimentasi tersebut setara dengan lumpur/tanah yang
diangkut 1.300 dump truck kapasitas 5 meter kubik dalam setiap harinya.
Selain erosi yang sangat tinggi, kekhasan kawasan Karangkobar-Merawu juga
menjadikannya kawasan yang sangat rentan terhadap bencana tanah longsor baik
dalam skala kecil maupun besar. Tak heran jika PVMBG (Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi) menempatkan mayoritas kecamatan Karangkobar ke dalam
zona kerentanan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan tinggi (zona merah).
Gambar 1. Peta zona kerentanan
gerakan tanah untuk kecamatan Karangkobar dan sekitarnya dari Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi. Lingkaran merah menunjukkan lokasi bencana tanah
longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014. Nampak lokasi bencana dan sekitarnya
didominasi oleh zona rentan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan zona
rentan gerakan tanah tinggi (zona merah). Sumber: PVMBG, t.t.
Gambar 2. Wajah dusun Jemblung, desa
Sampang (Banjarnegara) antara sebelum dan sesudah bencana tanah longsor dahsyat
12 Desember 2014 TU. Citra sebelum bencana diambil dari sisi utara jalan raya
Banjarnegara-Dieng menghadap ke barat laut-utara. Nampak masjid al-Iman di
latar belakang. Sementara citra sesudah bencana diambil dari lokasi yang lebih
tinggi namun tidak seberapa jauh dari lokasi pengambilan citra sebelum bencana,
dengan arah pandang yang sama. Nampak semua sudah berubah menjadi timbunan
lumpur. Sumber: Nurmansyah, 2014.
Gambar 3. Panorama dusun Jemblung,
desa Sampang (Banjarnegara) dari langit dalam citra Google Earth pra bencana.
Nampak bentangan jalan raya Banjarnegara-Dieng/Banjarnegara-Pekalongan, sungai
Petir dan masjid al-Iman. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth.
Gambar 4. Panorama dusun Jemblung,
desa Sampang (Banjarnegara) dan Gunung Telagalele dalam ilustrasi berbasis
citra Google Earth dengan arah pandang ke selatan. Garis putus-putus
menunjukkan perkiraan posisi asal material longsor. Tanda panah kuning
menunjukkan arah gerakan tanah dalam bencana longsor dahsyat tersebut. Sumber:
Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan keterangan Azizah, 2014.
1.4 ANTISIPASI
Dalam bencana tanah longsor pada
umumnya, sedikitnya ada tiga faktor yang berkontribusi. Dalam kasus
Banjarnegara khususnya di kawasan Karangkobar-Merawu, faktor pertama
adalah kondisi geologi yang unik. Faktor kedua adalah hujan deras hingga
hujan ekstrim. Dan faktor ketiga adalah tersumbatnya drainase sehingga
air tidak bisa terbebas dengan leluasa dari lereng yang berpotensi longsor.
Faktor pertama dan kedua adalah faktor yang terberi (given), atau sudah
dari sononya demikian. Sehingga tak bisa dikendalikan manusia. Namun
berbeda dengan faktor ketiga. Manusia dapat mengelola drainase lereng, sehingga
tingkat kejenuhan airnya dapat direduksi. Saluran-saluran drainase sederhana
dapat dibangun untuk keperluan itu. Di samping itu retakan yang sudah terbentuk
harus segera ditimbuni lagi hingga rata. Juga tak boleh ada penggalian baik di
lereng maupun kaki lereng, baik kecil-kecilan apalagi besar, atas alasan
apapun.
Gambar 5. Citra medan pandang lebar
(wide-field) lokasi bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014,
diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi per 13 Desember 2014 TU.
Arah pandang ke selatan-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan
telaga/genangan air tepat dibawahnya. Sumber: PVMBG, 2014.
KESIMPULAN
Dari
data di atas dapat kita simpulkan bahwa tanah longsor yang terjadi di
banjarnegara dikarenakan beberapa faktor dan penyebab, sehingga terjadi sebuah
bencana yang merenggut nyawa seseorang yang banyak dan kerugian material yang
cukup besar beberapa faktor yang muncul yaitu :
1. Morfologi
daerah bencana dan sekitarnya yang secara umum berupa perbukitan dengan
kemiringan landai hingga terjal.
2. Litologi
yang diperkirakan bersifat sarang dengan daya resap air yang tinggi, yaitu
berupa lahar dan endapan alluvium dari bahan rombakan gunung api, aliran lava
dan breksi, dengan batuan dasar yang berupa aglomerat bersusunan andesit, lava
andesit hornblenda, dan tuf.
3. Curah hujan yang tinggi
dan lama pada saat dan sebelum kejadian longsor juga turut berkontribusi menggerakkan
tanah ke pemukiman penduduk.
4.
Faktor lain, kemungkinan dari
faktor hidrogeologi yang berpengaruh dalam gerakan tanah adalah sifat resapan
air/permeabilitas tanah di lokasi longsoran yang relatif kecil.
Faktor lain penyebab terjadinya tanah
longsor juga akibat ulah manusia seperti penggunaan lahan yang tidak teratur
dan tidak tepat peruntukannya, contohnya pembuatan areal persawahan
dilereng-lereng yang terjal sehingga lereng ynag dahuulunya yang banyak
terdapat pepohonan menjadi gundul akibat ulah manusia yang tidak bertanggung
jawab untuk membuat suatu areal lahan sehingga resapan air menjadi hilang dan
dapat menjadikan tanah longsor yang berakibat kematian dan kerugian material
yang banyak dan tak terhitung harganya.
DAFTAR PUSTAKA
Oman Abdurrahman. 2013. Geologi
Linewatan, dari Tasikmalaya hingga Banjarnegara. Geomagz, vol. 3 no. 1
(Maret 2013), hal. 54-79.
PVMBG. 2014. Tanggapan Bencana
Gerakan Tanah Di Kecamatan Sigaluh, Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Karang
Kobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral RI, 12 Desember 2014.
Buku Putih Sanitasi Kabupaten
Banjarnegara. 2011.
Sutopo & Wilonoyudho. 2006. Analisis
Tanah Longsor Banjarnegara. Wacana Suara Merdeka, 26 Januari 2006.
Daryono. 2014. komunikasi personal.
Ima Azizah. 2014. komunikasi
personal.
Twitter Nurmansyah (@nurmansali).
2014.
Detik. 2014. Ini Hasil
Investigasi UGM soal Aspek Geologi Bencana Longsor Banjarnegara. Laman
DetikNews, reportase Sukma Indah Permana, 15 Desember 2014.
Tempo. 2014. Kolam Raksasa pada
Sumber Longsor Banjarnegara. Laman Tempo.co, reportase Aris Andrianto, 15
Desember 2014.
https://ekliptika.wordpress.com/2014/12/16/longsor-dahsyat-jemblung-dan-takdir-kebumian-banjarnegara/
http://www.tribunnews.com/regional/2014/12/16/tinjauan-geologi-bencana-tanah-longsor-di-banjarnegara
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141215105622-199-18157/tiga-penyebab-utama-longsor-banjarnegara-terungkap/