3.5
ACARA V ANALISIS BATUAN METAMORF
Batuan
asal atau batuan induk baik berupa batuan beku, batuan sedimen maupun batuan
metamorf dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur serta struktur
sebagai akibat adanya perubahan temperatur (di atas proses diagenesa dan di
bawah titik lebur; 200-350oC < T < 650-800oC) dan
tekanan yang tinggi (1 atm < P < 10.000 atm) disebut batuan metamorf.
Proses metamorfisme tersebut terjadi di dalam bumi pada kedalaman lebih kurang
3 km – 20 km. Winkler (1989) menyatakan bahwasannya proses-proses metamorfisme
itu mengubah mineral-mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau
respons terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam kerak bumi yang berbeda
dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan
diagenesa.
3.5.1
Pembentukan Batuan Metamorf
Batuan
beku dan sedimen dibentuk akibat
interaksi dari proses kimia, fisika, biologi dan
kondisi-kondisinya di dalam bumi serta
di permukaannya. Bumi merupakan sistim
yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan mungkin
mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan
perubahan yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-perubahan
tersebut terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan di bawah pelelehan, maka akan menunjukkan sebagai proses metamorfisme.
Suatu batuan
mungkin mengalami beberapa
perubahan lingkungan sesuai dengan waktu, yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang mendasar
dari perubahan metamorfik adalah batuan
tersebut terjadi selama batuan berada dalam kondisi padat. Perubahan komposisi
di dalam batuan kurang berarti pada
tahap ini, perubahan tersebut adalah
isokimia yang terdiri dari distribusi ulang elemen-elemen lokal dan volatil
diantara mineral-mineral yang sangat reaktif. Pendekatan umum untuk
mengambarkan batas antara diagenesa dan
metamorfisme adalah menentukan
batas terbawah dari metamorfisme sebagai kenampakan pertama dari mineral
yang tidak terbentuk secara
normal di dalam sedimen-sedimen permukaan, seperti epidot
dan muskovit. Walaupun hal ini dapat dihasilkan dalam batas yang lebih
basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang menyebabkan reaksi kaolinit
dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit. Bagaimanapun juga,
eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa reaksi ini tidak menempati pada
temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200°C - 350°C
yang tergantung pada pH dan kandungan potasium dari material-material disekitarnya. Mineral-mineral
lain yang dipertimbangkan terbentuk pada
awal metamorfisme adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit atau piropilit. Masing-masing terbentuk pada temperatur
yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda, tetapi secara umum
terjadi kira-kira pada 150°C
atau dikehendaki lebih tinggi. Di bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150°C
disertai oleh tekanan lithostatik kira-kira 500 bar.
Batas
atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi pelelehan
batuan. Di sini kita mempunyai satu
variabel, sebagai variasi temperatur
pelelehan sebagai fungsi dari
tipe batuan, tekanan lithostatik
dan tekanan uap. Satu
kisaran dari 650°C - 800°C
menutup sebagian besar
kondisi tersebut. Batas atas dari
metamorfisme dapat ditentukan
oleh kejadian dari batuan
yang disebut migmatit. Batuan ini menunjukkan kombinasi dari kenampakan tekstur, beberapa
darinya muncul menjadi batuan beku dan batuan metamorf yang lain.
Berdasarkan tingkat malihannya, batuan metamorf dibagi
menjadi dua yaitu (1) metamorfisme tingkat rendah (low-grade metamorphism) dan
(2) metamorfisme tingkat tinggi (high-grade metamorphism) (Gambar 3.9). Pada
batuan metamorf tingkat rendah jejak kenampakan batuan asal masih bisa diamati
dan penamaannya menggunakan awalan meta (-sedimen, -beku), sedangkan pada
batuan metamorf tingkat tinggi jejak batuan asal sudah tidak nampak, malihan
tertinggi membentuk migmatit (batuan yang sebagian bertekstur malihan dan
sebagian lagi bertekstur beku atau igneous).
Gambar 3.9 memperlihatkan batuan
asal yang mengalami metamorfisme tingkat rendah – medium dan tingkat tinggi
(O’Dunn dan Sill, 1986).
Pembentukan batuan
metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya juga didasarkan pada
penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya batuan metamorf dibagi menjadi tiga yaitu
(1) Metamorfisme kontak/ termal, pengaruh T dominan; (2) Metamorfisme dinamo/
kataklastik/dislokasi/kinematik, pengaruh P dominan; dan (3) Metamorfisme
regional, terpengaruh P & T, serta daerah luas. Metamorfisme kontak terjadi
pada zona kontak atau sentuhan langsung dengan tubuh magma (intrusi) dengan
lebar antara 2 – 3 km (Gambar 3.10). Metamorfisme dislokasi terjadi pada daerah
sesar besar/ utama yaitu pada lokasi dimana masa batuan tersebut mengalami
penggerusan. Sedangkan metamorfisme regional terjadi pada kulit bumi bagian
dalam dan lebih intensif bilamana diikuti juga oleh orogenesa (Gambar 3.11).
penyebaran tubuh batuan metamorf ini luas sekali mencapai ribuan kilometer.
Gambar 3.10 memperlihatkan kontak aureole
disekitar intrusi batuan beku (Gillen, 1982).
Gambar 3.11 penampang yang memperlihatkan
lokasi batuan metamorf (Gillen, 1982).
3.5.2
Pengenalan Batuan Metamorf
Pengenalan batuan metamorf
dapat dilakukan melalui kenampakan-kenampakan yang jelas pada
singkapan dari batuan metamorf
yang merupakan akibat dari tekanan-tekanan
yang tidak sama. Batuan-batuan tersebut mungkin mengalami aliran plastis,
peretakan dan pembutiran atau rekristalisasi. Beberapa tekstur dan struktur di
dalam batuan metamorf mungkin diturunkan
dari batuan pre-metamorfik (seperti: cross bedding),
tetapi kebanyakan hal ini terhapus selama metamorfisme. Penerapan dari
tekanan yang tidak sama,
khususnya jika disertai oleh pembentukan
mineral baru, sering menyebabkan
kenampakan penjajaran dari tekstur dan
struktur. Jika planar disebut
foliasi. Seandainya
struktur planar tersebut disusun oleh
lapisan-lapisan yang menyebar
atau melensa dari mineral-mineral
yang berbeda tekstur, misal: lapisan yang kaya akan mineral granular (seperti:
felspar dan kuarsa) berselang-seling
dengan lapisan-lapisan kaya mineral-mineral tabular atau prismatik (seperti: feromagnesium), tekstur
tersebut menunjukkan
sebagai gneis. Seandainya foliasi
tersebut disebabkan oleh penyusunan yang sejajar dari mineral-mineral
pipih berbutir sedang-kasar (umumnya mika
atau klorit) disebut skistosity. Pecahan
batuan ini biasanya sejajar
dengan skistosity menghasilkan belahan batuan yang berkembang kurang
baik.
Pengenalan batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan
jenis batuan lain yaitu didasarkan pada warna, tekstur, struktur dan
komposisinya. Namun untuk batuan metamorf ini mempunyai kekhasan dalam
penentuannya yaitu pertama-tama dilakukan tinjauan apakah termasuk dalam
struktur foliasi (ada penjajaran mineral) atau non foliasi (tanpa penjajaran
mineral) (Tabel 3.12). Pada metamorfisme tingkat tinggi akan berkembang
struktur migmatit (Gambar 3.12). Setelah penentuan struktur diketahui, maka
penamaan batuan metamorf baik yang berstruktur foliasi maupun berstruktur non
foliasi dapat dilakukan. Misal: struktur skistose nama batuannya sekis; gneisik
untuk genis; slatycleavage untuk slate/ sabak. Sedangkan non foliasi, misal:
struktur hornfelsik nama batuannya hornfels; liniasi untuk asbes.
Variasi
yang luas dari tekstur, struktur
dan komposisi dalam batuan
metamorf, membuatnya sulit untuk mendaftar satu atau lebih dari beberapa kenampakkan yang diduga hasil dari proses
metamorfisme. Oleh sebab itu hal terbaik untuk mempertimbangkan secara menerus
seperti kemungkinan banyaknya perbedaan kenampakan-kenampakan yang ada.
Table 3.12 Diagram alir untuk identifikasi
batuan metamorf secara umum (Gillen, 1982).
Gambar 3.12 Berbagai struktur
pada migmatit dengan leukosom (warna terang) (Compton, 1985).
3.5.3 Struktur Batuan Metamorf
Secara umum struktur
yang dijumpai di dalam batuan metamorf dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
struktur foliasi dan struktur non foliasi. Struktur foliasi ditunjukkan oleh
adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf, sedang struktur non
foliasi tidak memperlihatkan adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan
metamorf.
3.5.3.1 Struktur Foliasi
a.
Struktur Skistose:
struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral pipih (biotit, muskovit,
felspar) lebih banyak dibanding mineral butiran.
b.
Struktur Gneisik: struktur
yang memperlihatkan penjajaran mineral granular, jumlah mineral granular
relatif lebih banyak dibanding mineral pipih.
c.
Struktur Slatycleavage:
sama dengan struktur skistose, kesan kesejajaran mineraloginya sangat halus
(dalam mineral lempung).
d.
Struktur Phylitic: sama
dengan struktur slatycleavage, hanya mineral dan kesejajarannya sudah mulai
agak kasar.
3.5.3.2 Struktur Non Foliasi
a.
Struktur Hornfelsik:
struktur yang memperlihatkan butiran-butiran mineral relatif seragam.
b.
Struktur
Kataklastik: struktur yang memperlihatkan adanya penghancuran terhadap batuan
asal.
c.
Struktur Milonitik:
struktur yang memperlihatkan liniasi oleh adanya orientasi mineral yang
berbentuk lentikuler dan butiran mineralnya halus.
d.
Struktur Pilonitik:
struktur yang memperlihatkan liniasi dari belahan permukaan yang berbentuk
paralel dan butiran mineralnya lebih kasar dibanding struktur milonitik, malah
mendekati tipe struktur filit.
e.
Struktur Flaser:
sama struktur kataklastik, namun struktur batuan asal berbentuk lensa yang
tertanam pada masa dasar milonit.
f.
Struktur Augen:
sama struktur flaser, hanya lensa-lensanya terdiri dari butir-butir felspar
dalam masa dasar yang lebih halus.
g.
Struktur Granulose:
sama dengan hornfelsik, hanya butirannya mempunyai ukuran beragam.
h.
Struktur Liniasi:
struktur yang memperlihatkan adanya mineral yang berbentuk jarus atau fibrous.
3.5.4 Tekstur Batuan Metamorf
Tekstur yang berkembang selama proses metamorfisme secara
tipikal penamaanya mengikuti kata-kata
yang mempunyai akhiran -blastik.
Contohnya, batuan metamorf
yang berkomposisi kristal-kristal berukuran seragam disebut
dengan granoblastik. Secara umum
satu atau lebih mineral yang hadir
berbeda lebih besar dari rata-rata; kristal yang lebih besar tersebut dinamakan
porphiroblast. Porphiroblast, dalam
pemeriksaan sekilas, mungkin membingungkan dengan fenokris (pada batuan
beku), tetapi biasanya mereka dapat dibedakan dari sifat mineraloginya dan
foliasi alami yang umum dari matrik.
Pengujian mikroskopik porphiroblast sering menampakkan butiran-butiran dari material matrik, dalam
hal ini disebut poikiloblast.
Poikiloblast biasanya dianggap
terbentuk oleh pertumbuhan kristal
yang lebih besar
disekeliling sisa-sisa mineral
terdahulu, tetapi kemungkinan poikiloblast dapat diakibatkan dengan cara
pertumbuhan sederhana pada laju yang lebih cepat daripada mineral-mineral
matriknya, dan yang melingkupinya. Termasuk material yang
menunjukkan (karena
bentuknya, orientasi atau penyebarannya) arah kenampakkan mula-mula dalam batuan (seperti skistosity atau perlapisan asal);
dalam hal ini porphiroblast atau poikiloblast dikatakan mempunyai tekstur helicitik. Kadangkala batuan
metamorf terdiri dari kumpulan
butiran-butiran yang berbentuk melensa
atau elipsoida; bentuk dari kumpulan-kumpulan ini disebut augen (German untuk “mata”),
dan umumnya hasil dari kataklastik (penghancuran,
pembutiran, dan rotasi). Sisa kumpulan ini dihasilkan dalam butiran matrik. Istilah umum untuk agregat
adalah porphyroklast.
3.5.4.1 Tekstur Kristaloblastik
Tekstur
batuan metamorf yang dicirikan dengan
tekstur batuan asal sudah tidak kelihatan lagi atau memperlihatkan kenampakan
yang sama sekali baru. Dalam penamaannya menggunakan akhiran kata –blastik.
Berbagai kenampakan tekstur batuan metamorf dapat dilihat pada Gambar 3.13.
a.
Tekstur Porfiroblastik:
sama dengan tekstur porfiritik (batuan beku), hanya kristal besarnya disebut porfiroblast.
b.
Tekstur Granoblastik:
tekstur yang memperlihatkan butir-butir mineral seragam.
c.
Tekstur Lepidoblastik:
tekstur yang memperlihatkan susunan mineral saling sejajar dan berarah dengan
bentuk mineral pipih.
d.
Tekstur Nematoblastik:
tekstur yang memperlihatkan adanya mineral-mineral prismatik yang sejajar dan
terarah.
e.
Tekstur Idioblastik:
tekstur yang memperlihatkan mineral-mineral berbentuk euhedral.
f.
Tekstur Xenoblastik: sama
dengan tekstur idoblastik, namun mineralnya berbentuk anhedral.
3.5.4.2 Tekstur Palimpset
Tekstur batuan metamorf
yang dicirikan dengan tekstur sisa dari batuan asal masih bisa diamati. Dalam
penamaannya menggunakan awalan kata –blasto.
a.
Tekstur Blastoporfiritik:
tekstur yang memperlihatkan batuan asal yang porfiritik.
b.
Tekstur Blastopsefit:
tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran butirnya lebih
besar dari pasir.
c.
Tekstur Blastopsamit: sama
dengan tekstur blastopsefit, hanya ukuran butirnya sama dengan pasir.
d.
Tekstur Blastopellit:
tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran butirnya lempung.
3.5.5 Komposisi Batuan Metamorf
Pertumbuhan dari mineral-mineral baru atau rekristalisasi dari mineral yang ada sebelumnya sebagai
akibat perubahan tekanan dan atau temperatur menghasilkan
pembentukan kristal lain yang baik, sedang atau
perkembangan sisi muka yang
jelek; kristal ini dinamakan idioblastik, hypidioblastik, atau xenoblastik. Secara umum batuan metamorf disusun oleh
mineral-mineral tertentu (Tabel 3.13), namun secara khusus mineral penyusun
batuan metamorf dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) mineral stress dan (2)
mineral anti stress. Mineral stress adalah mineral yang stabil dalam kondisi
tekanan, dapat berbentuk pipih/tabular, prismatik dan tumbuh tegak lurus
terhadap arah gaya/stress meliputi: mika, tremolit-aktinolit, hornblende,
serpentin, silimanit, kianit, seolit, glaukopan, klorit, epidot, staurolit dan
antolit. Sedang mineral anti stress adalah mineral yang terbentuk dalam kondisi
tekanan, biasanya berbentuk equidimensional, meliputi: kuarsa, felspar, garnet,
kalsit dan kordierit.
Gambar 3.13 Tekstur batuan metamorf (Compton, 1985).
A. Tekstur Granoblastik, sebagian
menunjukkan tekstur mosaik; B. Tekstur Granoblatik berbutir iregular, dengan
poikiloblast di kiri atas; C. Tekstur Skistose dengan porpiroblast euhedral; D.
Skistosity dengan domain granoblastik lentikuler; E. Tekstur Semiskistose
dengan meta batupasir di dalam matrik mika halus; F. Tekstur Semiskistose dengan
klorit dan aktinolit di dalam masa dasar blastoporfiritik metabasal; G. Granit
milonit di dalam proto milonit; H. Ortomilonit di dalam ultramilonit; I.
Tekstur Granoblastik di dalam blastomilonit.
Tabel
3.13 Ciri-ciri fisik mineral-mineral
penyusun batuan metamorf (Gillen, 1982)
Setelah kita menentukan
batuan asal mula metamorf, kita harus
menamakan batuan tersebut.
Sayangnya prosedur penamaan
batuan metamorf tidak sistematik seperti
pada batuan beku dan
sedimen. Nama-nama batuan metamorf
terutama didasarkan pada kenampakan tekstur dan struktur (Tabel 3.14).
Nama yang umum
sering dimodifikasi oleh awalan yang menunjukkan kenampakan nyata atau aspek penting
dari tekstur (contoh gneis augen), satu atau lebih mineral yang ada (contoh skis klorit), atau
nama dari batuan beku yang mempunyai komposisi sama (contoh gneis granit). Beberapa nama
batuan yang didasarkan pada dominasi
mineral (contoh metakuarsit) atau
berhubungan dengan facies metamorfik yang dipunyai batuan (contoh granulit).
Metamorfisme regional dari batulumpur melibatkan perubahan keduanya baik tekanan
dan temperatur secara awal menghasilkan rekristalisasi dan modifikasi dari
mineral lempung yang
ada. Ukuran butiran secara mikroskopik tetap, tetapi arah yang baru dari
orientasi mungkin dapat berkembang sebagai hasil dari gaya stres. Resultan batuan berbutir halus yang mempunyai
belahan batuan yang baik sekali dinamakan
slate. Bilamana metamorfisme
berlanjut sering
menghasilkan orientasi dari
mineral-mineral pipih pada batuan dan penambahan ukuran butir dari klorit
dan mika. Hasil dari batuan yang
berbutir halus ini dinamakan
phylit, sama
seperti slate tetapi mempunyai
kilap sutera pada belahan permukaannya. Pengujian dengan
menggunakan lensa tangan secara teliti kadangkala memperlihatkan
pecahan porpiroblast yang kecil
licin mencerminkan permukaan belahannya. Pada tingkat metamorfisme yang
lebih tinggi, kristal tampak tanpa lensa.
Disini biasanya kita menjumpai mineral-mineral yang
pipih dan memanjang yang
terorientasi kuat membentuk
skistosity yang menyolok. Batuan
ini dinamakan skis, masih
bisa dibelah menjadi lembaran-lembaran. Umumnya berkembang porpiroblast; hal ini
sering dapat diidentikkan dengan sifat
khas mineral metamorfik seperti garnet, staurolit,
atau kordierit. Masih pada metamorfisme tingkat
tinggi disini skistosity menjadi
kurang jelas; batuan terdiri dari
kumpulan butiran sedang sampai kasar
dari tekstur dan mineralogi yang berbeda menunjukkan tekstur gnessik dan
batuannya dinamakan gneis.
Kumpulan yang terdiri dari
lapisan yang relatif
kaya kuarsa dan feldspar, kemungkinan kumpulan tersebut terdiri dari mineral
yang mengandung feromagnesium (mika, piroksin, dan ampibol). Komposisi
mineralogi sering sama dengan batuan beku, tetapi tekstur
gnessik biasanya menunjukkan asal
metamorfisme; dalam kumpulan yang
cukup orientasi sering ada. Penambahan metamorfisme
dapat mengubah gneis menjadi
migmatit. Dalam kasus ini, kumpulan berwarna terang menyerupai batuan beku
tertentu, dan perlapisan kaya feromagnesium mempunyai aspek metamorfik
tertentu.
Jenis
batuan metamorf lain penamaannya hanya berdasarkan pada komposisi mineral,
seperti: Marmer disusun hampir semuanya
dari kalsit atau dolomit; secara tipikal bertekstur granoblastik. Kuarsit
adalah batuan metamorfik
bertekstur granobastik dengan
komposisi utama adalah kuarsa, dibentuk oleh rekristalisasi
dari batupasir atau chert/rijang.
Secara umum jenis batuan metamorfik yang lain adalah
sebagai berikut:
Amphibolit:
Batuan yang berbutir sedang sampai kasar komposisi utamanya adalah ampibol (biasanya hornblende) dan
plagioklas.
Eclogit:
Batuan yang berbutir sedang
komposisi utama adalah piroksin klino ompasit tanpa plagioklas
felspar (sodium dan diopsit kaya alumina) dan garnet kaya
pyrop. Eclogit mempunyai
komposisi kimia seperti basal, tetapi mengandung fase yang
lebih berat. Beberapa eclogit berasal dari batuan beku.
Granulit:
Batuan yang berbutir merata terdiri dari mineral (terutama kuarsa, felspar, sedikit garnet dan piroksin)
mempunyai tekstur granoblastik. Perkembangan struktur gnessiknya lemah mungkin terdiri dari
lensa-lensa datar kuarsa dan/atau felspar.
Hornfels:
Berbutir halus, batuan metamorfisme
thermal terdiri dari butiran-butiran yang
equidimensional dalam orientasi acak. Beberapa porphiroblast atau sisa
fenokris mungkin ada. Butiran-butiran
kasar yang sama disebut granofels.
Milonit: Cerat
berbutir halus atau kumpulan batuan yang dihasilkan oleh pembutiran atau aliran
dari batuan yang lebih kasar. Batuan mungkin menjadi protomilonit, milonit,
atau ultramilomit, tergantung atas jumlah dari fragmen yang tersisa. Bilamana
batuan mempunyai skistosity dengan kilap permukaan sutera, rekristralisasi
mika, batuannya disebut philonit.
Serpentinit:
Batuan yang hampir seluruhnya terdiri dari mineral-mineral dari kelompok
serpentin. Mineral asesori meliputi klorit, talk, dan karbonat. Serpentinit
dihasilkan dari alterasi mineral silikat feromagnesium yang terlebih dahulu
ada, seperti olivin dan piroksen.
Skarn: Marmer
yang tidak bersih/kotor yang mengandung kristal dari mineral kapur-silikat
seperti garnet, epidot, dan sebagainya. Skarn terjadi karena perubahan
komposisi batuan penutup (country rock) pada kontak batuan beku.
Tabel 3.14
Klasifikasi Batuan Metamorf (O’Dunn dan Sill, 1986).
3.6 ACARA VI TEST AKHIR PERAGA
Acara
terakhir ini berupa test baik yang berupa test teori maupun test peraga.
Masing-masing mahasiswa diharapkan sudah dapat membedakan berbagai jenis batuan
yang ada di laboratorium petrologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
Yogyakarta. Yang dimaksud dengan test teori yaitu mahasiswa harus mampu
mengerjakan test secara tertulis dengan materi kuliah maupun materi asistensi
pada waktu praktikum. Sedangkan test peraga yaitu mahasiswa harus mampu
mengidentifikasi jenis batuan, warna batuan, tekstur batuan, struktur batuan
dan komposisi serta nama batuan contoh setangan.
Pekerjaan terakhir yang harus
dilakukan mahasiswa yaitu pembuatan laporan dan melakukan test lapangan yang
berupa ekskursi satu hari ke lapangan yang tidak jauh dari kampus yaitu jalur
Yogyakarta – Prambanan/ Candi Boko – Watuadeg/Berbah - Piyungan Patuk – Kali
Putat – Kali Pentung dan Kali Oyo serta Wonosari. Dalam ekskursi tersebut
mahasiswa diharuskan melakukan pemerian sesuai dengan yang pernah dilakukan di
bangku kuliah dan membuat laporan akhir berupa pemerian semua batuan dari stop
site yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Compton,
R. R., 1985, Geology in the field, John Wiley
& Sons, New York, p. 1 – 398.
Dunham,
R.J., 1962, Classification of Carbonate Rocks According to Depositional
Texture, Amer. Assn, Pet. Geol. Mem. No.1, p.108-121.
Gillen, C., 1982, Metamorphic Geology: An
Introduction to Tectonic and Metamorphic Processes , George Allen & Unwin.
Graha, D.
S., 1987, Batuan dan Mineral, Penerbit Nova, Bandung.
Huang, W.
T., 1962, Petrology, McGraw-Hill Book Company, New York.
Middlemost, E.A.K., 1985, Magmas and Magmatic Rocks: An Introduction
to Igneous Petrology, Longman Group Limited.
O’Dunn, S.,
& Sill, W.D., (1986), Exploring Geology: Introductory Laboratory
Activities, A Peek Publication.
Pettijohn,
E.J., 1975, Sedimentary Rocks, Third Ed., Harper & Row.
Tucker, M.
E., 1991, Sedimentary Petrology: an introduction to the origin of sedimentary
rock, Blackwell Scientific Publications.
Winkler,
H.G.F., 1967, Petrogenesis of Metamorphic Rocks, 2sd. Ed., Springer Verlag.
Yardley,
B.W.D., 1989, An Introduction of Metamorphic Petrology,Longman Scientific &
Technical.