Minggu, 09 November 2014

Petrologi



3.5  ACARA V ANALISIS BATUAN METAMORF
            Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan beku, batuan sedimen maupun batuan metamorf dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur serta struktur sebagai akibat adanya perubahan temperatur (di atas proses diagenesa dan di bawah titik lebur; 200-350oC < T < 650-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm < P < 10.000 atm) disebut batuan metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi di dalam bumi pada kedalaman lebih kurang 3 km – 20 km. Winkler (1989) menyatakan bahwasannya proses-proses metamorfisme itu mengubah mineral-mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau respons terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam kerak bumi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.


3.5.1        Pembentukan Batuan Metamorf
Batuan  beku  dan sedimen dibentuk  akibat  interaksi  dari proses  kimia, fisika, biologi dan kondisi-kondisinya  di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi  merupakan  sistim  yang dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan mungkin mengalami keadaan yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan perubahan yang luas di dalam tekstur dan mineraloginya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada tekanan dan temperatur di atas diagenesa dan  di bawah pelelehan,  maka akan menunjukkan sebagai proses  metamorfisme.
Suatu batuan  mungkin  mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai dengan waktu, yang dapat menghasilkan batuan  polimetamorfik. Sifat-sifat yang mendasar dari perubahan metamorfik adalah  batuan tersebut terjadi selama batuan berada dalam kondisi padat. Perubahan  komposisi  di dalam batuan  kurang  berarti pada  tahap  ini,  perubahan tersebut  adalah  isokimia yang terdiri dari distribusi ulang elemen-elemen lokal dan volatil diantara mineral-mineral  yang  sangat reaktif. Pendekatan umum untuk mengambarkan batas antara diagenesa dan   metamorfisme   adalah  menentukan   batas   terbawah   dari metamorfisme  sebagai kenampakan pertama dari mineral yang  tidak terbentuk   secara  normal  di dalam  sedimen-sedimen   permukaan, seperti  epidot  dan muskovit. Walaupun hal ini dapat dihasilkan dalam batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang menyebabkan reaksi kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit. Bagaimanapun juga, eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa reaksi ini tidak menempati pada temperatur tertentu  tetapi  terjadi antara 200°C - 350°C yang tergantung pada pH dan kandungan potasium dari  material-material disekitarnya. Mineral-mineral lain yang dipertimbangkan terbentuk pada  awal metamorfisme adalah laumonit, lawsonit, albit, paragonit  atau piropilit.  Masing-masing terbentuk pada temperatur yang  berbeda di bawah  kondisi yang berbeda, tetapi secara umum terjadi  kira-kira pada 150°C atau dikehendaki lebih tinggi. Di bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150°C disertai oleh tekanan lithostatik kira-kira 500 bar.
            Batas atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi pelelehan batuan. Di sini kita  mempunyai  satu  variabel,  sebagai variasi  temperatur  pelelehan sebagai fungsi dari  tipe  batuan, tekanan  lithostatik  dan  tekanan uap.  Satu  kisaran  dari  650°C - 800°C  menutup  sebagian  besar  kondisi tersebut. Batas  atas dari metamorfisme  dapat  ditentukan  oleh kejadian   dari   batuan  yang  disebut  migmatit. Batuan   ini menunjukkan  kombinasi dari kenampakan tekstur, beberapa darinya muncul menjadi batuan beku dan batuan metamorf yang lain.
Berdasarkan tingkat malihannya, batuan metamorf dibagi menjadi dua yaitu (1) metamorfisme tingkat rendah (low-grade metamorphism) dan (2) metamorfisme tingkat tinggi (high-grade metamorphism) (Gambar 3.9). Pada batuan metamorf tingkat rendah jejak kenampakan batuan asal masih bisa diamati dan penamaannya menggunakan awalan meta (-sedimen, -beku), sedangkan pada batuan metamorf tingkat tinggi jejak batuan asal sudah tidak nampak, malihan tertinggi membentuk migmatit (batuan yang sebagian bertekstur malihan dan sebagian lagi bertekstur beku atau igneous).












Gambar 3.9 memperlihatkan batuan asal yang mengalami metamorfisme tingkat rendah – medium dan tingkat tinggi (O’Dunn dan Sill, 1986).

            Pembentukan batuan metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya juga didasarkan pada penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya batuan metamorf dibagi menjadi tiga yaitu (1) Metamorfisme kontak/ termal, pengaruh T dominan; (2) Metamorfisme dinamo/ kataklastik/dislokasi/kinematik, pengaruh P dominan; dan (3) Metamorfisme regional, terpengaruh P & T, serta daerah luas. Metamorfisme kontak terjadi pada zona kontak atau sentuhan langsung dengan tubuh magma (intrusi) dengan lebar antara 2 – 3 km (Gambar 3.10). Metamorfisme dislokasi terjadi pada daerah sesar besar/ utama yaitu pada lokasi dimana masa batuan tersebut mengalami penggerusan. Sedangkan metamorfisme regional terjadi pada kulit bumi bagian dalam dan lebih intensif bilamana diikuti juga oleh orogenesa (Gambar 3.11). penyebaran tubuh batuan metamorf ini luas sekali mencapai ribuan kilometer.


 










Gambar 3.10 memperlihatkan kontak aureole disekitar intrusi batuan beku (Gillen, 1982).













Gambar 3.11 penampang yang memperlihatkan lokasi batuan metamorf (Gillen, 1982).

3.5.2        Pengenalan Batuan Metamorf
Pengenalan batuan metamorf dapat dilakukan melalui kenampakan-kenampakan yang jelas  pada  singkapan dari  batuan metamorf yang merupakan akibat dari  tekanan-tekanan yang tidak sama. Batuan-batuan tersebut mungkin mengalami aliran plastis, peretakan dan pembutiran atau rekristalisasi. Beberapa tekstur dan struktur di dalam batuan metamorf mungkin  diturunkan dari  batuan  pre-metamorfik (seperti: cross bedding), tetapi kebanyakan hal ini terhapus selama metamorfisme. Penerapan dari tekanan  yang  tidak sama,  khususnya  jika disertai oleh  pembentukan  mineral  baru, sering  menyebabkan  kenampakan penjajaran dari tekstur dan  struktur.  Jika planar  disebut  foliasi.  Seandainya  struktur  planar  tersebut disusun  oleh  lapisan-lapisan yang menyebar  atau  melensa dari mineral-mineral yang berbeda tekstur, misal: lapisan yang kaya akan mineral granular (seperti: felspar dan kuarsa) berselang-seling   dengan lapisan-lapisan kaya mineral-mineral tabular atau  prismatik (seperti:   feromagnesium),   tekstur   tersebut menunjukkan   sebagai   gneis.   Seandainya   foliasi   tersebut disebabkan oleh penyusunan yang sejajar dari mineral-mineral pipih berbutir  sedang-kasar (umumnya  mika  atau  klorit)  disebut skistosity.  Pecahan  batuan ini  biasanya  sejajar  dengan skistosity menghasilkan belahan batuan yang berkembang kurang baik.
Pengenalan batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan jenis batuan lain yaitu didasarkan pada warna, tekstur, struktur dan komposisinya. Namun untuk batuan metamorf ini mempunyai kekhasan dalam penentuannya yaitu pertama-tama dilakukan tinjauan apakah termasuk dalam struktur foliasi (ada penjajaran mineral) atau non foliasi (tanpa penjajaran mineral) (Tabel 3.12). Pada metamorfisme tingkat tinggi akan berkembang struktur migmatit (Gambar 3.12). Setelah penentuan struktur diketahui, maka penamaan batuan metamorf baik yang berstruktur foliasi maupun berstruktur non foliasi dapat dilakukan. Misal: struktur skistose nama batuannya sekis; gneisik untuk genis; slatycleavage untuk slate/ sabak. Sedangkan non foliasi, misal: struktur hornfelsik nama batuannya hornfels; liniasi untuk asbes.
Variasi  yang  luas dari tekstur,  struktur  dan  komposisi dalam batuan metamorf, membuatnya  sulit  untuk mendaftar  satu atau lebih dari beberapa  kenampakkan yang diduga hasil dari proses metamorfisme. Oleh sebab itu hal terbaik untuk mempertimbangkan secara menerus seperti kemungkinan banyaknya perbedaan kenampakan-kenampakan yang ada.
Table 3.12 Diagram alir untuk identifikasi batuan metamorf secara umum (Gillen, 1982).




































Gambar 3.12 Berbagai struktur pada migmatit dengan leukosom (warna terang) (Compton, 1985).
3.5.3    Struktur Batuan Metamorf
            Secara umum struktur yang dijumpai di dalam batuan metamorf dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu struktur foliasi dan struktur non foliasi. Struktur foliasi ditunjukkan oleh adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf, sedang struktur non foliasi tidak memperlihatkan adanya penjajaran mineral-mineral penyusun batuan metamorf.

3.5.3.1   Struktur Foliasi
a.         Struktur Skistose: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral pipih (biotit, muskovit, felspar) lebih banyak dibanding mineral butiran.
b.        Struktur Gneisik: struktur yang memperlihatkan penjajaran mineral granular, jumlah mineral granular relatif lebih banyak dibanding mineral pipih.
c.         Struktur Slatycleavage: sama dengan struktur skistose, kesan kesejajaran mineraloginya sangat halus (dalam mineral lempung).
d.        Struktur Phylitic: sama dengan struktur slatycleavage, hanya mineral dan kesejajarannya sudah mulai agak kasar.

3.5.3.2    Struktur Non Foliasi
a.         Struktur Hornfelsik: struktur yang memperlihatkan butiran-butiran mineral relatif seragam.
b.        Struktur Kataklastik: struktur yang memperlihatkan adanya penghancuran terhadap batuan asal.
c.         Struktur Milonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi oleh adanya orientasi mineral yang berbentuk lentikuler dan butiran mineralnya halus.
d.        Struktur Pilonitik: struktur yang memperlihatkan liniasi dari belahan permukaan yang berbentuk paralel dan butiran mineralnya lebih kasar dibanding struktur milonitik, malah mendekati tipe struktur filit.
e.         Struktur Flaser: sama struktur kataklastik, namun struktur batuan asal berbentuk lensa yang tertanam pada masa dasar milonit.
f.         Struktur Augen: sama struktur flaser, hanya lensa-lensanya terdiri dari butir-butir felspar dalam masa dasar yang lebih halus.
g.        Struktur Granulose: sama dengan hornfelsik, hanya butirannya mempunyai ukuran beragam.
h.        Struktur Liniasi: struktur yang memperlihatkan adanya mineral yang berbentuk jarus atau fibrous.

3.5.4    Tekstur Batuan Metamorf
            Tekstur yang berkembang selama proses metamorfisme secara tipikal penamaanya  mengikuti kata-kata yang mempunyai akhiran -blastik. Contohnya,  batuan  metamorf  yang  berkomposisi  kristal-kristal berukuran seragam disebut dengan granoblastik. Secara umum satu  atau lebih mineral yang hadir berbeda lebih besar dari rata-rata; kristal yang lebih besar tersebut dinamakan porphiroblast. Porphiroblast, dalam pemeriksaan sekilas, mungkin membingungkan dengan fenokris (pada  batuan  beku),  tetapi  biasanya mereka dapat  dibedakan dari sifat mineraloginya dan foliasi alami yang umum dari matrik.  Pengujian   mikroskopik   porphiroblast   sering menampakkan  butiran-butiran dari material matrik, dalam hal ini  disebut poikiloblast.   Poikiloblast  biasanya  dianggap   terbentuk   oleh pertumbuhan  kristal  yang  lebih  besar  disekeliling  sisa-sisa mineral terdahulu, tetapi kemungkinan poikiloblast dapat diakibatkan dengan cara pertumbuhan sederhana pada laju yang lebih cepat daripada mineral-mineral matriknya, dan yang melingkupinya. Termasuk material  yang   menunjukkan   (karena bentuknya,  orientasi atau penyebarannya)  arah kenampakkan mula-mula dalam batuan  (seperti skistosity atau perlapisan asal); dalam hal ini porphiroblast atau poikiloblast dikatakan mempunyai tekstur helicitik. Kadangkala batuan metamorf  terdiri dari kumpulan butiran-butiran yang  berbentuk melensa atau elipsoida; bentuk dari kumpulan-kumpulan ini disebut augen (German untuk “mata”),  dan  umumnya  hasil dari kataklastik (penghancuran, pembutiran, dan rotasi). Sisa kumpulan ini dihasilkan dalam  butiran matrik. Istilah umum untuk agregat adalah porphyroklast.


3.5.4.1   Tekstur Kristaloblastik
            Tekstur batuan metamorf  yang dicirikan dengan tekstur batuan asal sudah tidak kelihatan lagi atau memperlihatkan kenampakan yang sama sekali baru. Dalam penamaannya menggunakan akhiran kata –blastik. Berbagai kenampakan tekstur batuan metamorf dapat dilihat pada Gambar 3.13.

a.         Tekstur Porfiroblastik: sama dengan tekstur porfiritik (batuan beku), hanya kristal besarnya disebut porfiroblast.
b.        Tekstur Granoblastik: tekstur yang memperlihatkan butir-butir mineral seragam.
c.         Tekstur Lepidoblastik: tekstur yang memperlihatkan susunan mineral saling sejajar dan berarah dengan bentuk mineral pipih.
d.        Tekstur Nematoblastik: tekstur yang memperlihatkan adanya mineral-mineral prismatik yang sejajar dan terarah.
e.         Tekstur Idioblastik: tekstur yang memperlihatkan mineral-mineral berbentuk euhedral.
f.         Tekstur Xenoblastik: sama dengan tekstur idoblastik, namun mineralnya berbentuk anhedral.

3.5.4.2   Tekstur Palimpset
            Tekstur batuan metamorf yang dicirikan dengan tekstur sisa dari batuan asal masih bisa diamati. Dalam penamaannya menggunakan awalan kata –blasto.

a.         Tekstur Blastoporfiritik: tekstur yang memperlihatkan batuan asal yang porfiritik.
b.        Tekstur Blastopsefit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran butirnya lebih besar dari pasir.
c.         Tekstur Blastopsamit: sama dengan tekstur blastopsefit, hanya ukuran butirnya sama dengan pasir.
d.        Tekstur Blastopellit: tekstur yang memperlihatkan batuan asal sedimen yang ukuran butirnya lempung.

3.5.5    Komposisi Batuan Metamorf
            Pertumbuhan  dari mineral-mineral baru atau  rekristalisasi dari  mineral yang ada sebelumnya sebagai akibat  perubahan  tekanan dan atau temperatur menghasilkan pembentukan kristal lain yang baik, sedang atau  perkembangan  sisi muka  yang  jelek;  kristal  ini dinamakan idioblastik, hypidioblastik, atau xenoblastik. Secara umum batuan metamorf disusun oleh mineral-mineral tertentu (Tabel 3.13), namun secara khusus mineral penyusun batuan metamorf dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) mineral stress dan (2) mineral anti stress. Mineral stress adalah mineral yang stabil dalam kondisi tekanan, dapat berbentuk pipih/tabular, prismatik dan tumbuh tegak lurus terhadap arah gaya/stress meliputi: mika, tremolit-aktinolit, hornblende, serpentin, silimanit, kianit, seolit, glaukopan, klorit, epidot, staurolit dan antolit. Sedang mineral anti stress adalah mineral yang terbentuk dalam kondisi tekanan, biasanya berbentuk equidimensional, meliputi: kuarsa, felspar, garnet, kalsit dan kordierit.
           














Gambar 3.13 Tekstur batuan metamorf (Compton, 1985).
A. Tekstur Granoblastik, sebagian menunjukkan tekstur mosaik; B. Tekstur Granoblatik berbutir iregular, dengan poikiloblast di kiri atas; C. Tekstur Skistose dengan porpiroblast euhedral; D. Skistosity dengan domain granoblastik lentikuler; E. Tekstur Semiskistose dengan meta batupasir di dalam matrik mika halus; F. Tekstur Semiskistose dengan klorit dan aktinolit di dalam masa dasar blastoporfiritik metabasal; G. Granit milonit di dalam proto milonit; H. Ortomilonit di dalam ultramilonit; I. Tekstur Granoblastik di dalam blastomilonit.

Tabel 3.13  Ciri-ciri fisik mineral-mineral penyusun batuan metamorf (Gillen, 1982)


 










            Setelah  kita  menentukan  batuan  asal  mula metamorf, kita  harus  menamakan  batuan  tersebut.  Sayangnya prosedur  penamaan batuan metamorf tidak sistematik seperti  pada batuan  beku  dan  sedimen. Nama-nama  batuan  metamorf  terutama didasarkan  pada  kenampakan tekstur dan struktur (Tabel 3.14). Nama  yang  umum  sering dimodifikasi  oleh  awalan yang menunjukkan  kenampakan nyata atau aspek  penting  dari tekstur (contoh gneis augen), satu atau lebih  mineral yang ada (contoh skis klorit), atau nama dari batuan  beku  yang mempunyai  komposisi sama (contoh gneis granit).  Beberapa nama  batuan  yang  didasarkan pada  dominasi  mineral  (contoh metakuarsit) atau berhubungan dengan facies metamorfik yang dipunyai batuan (contoh granulit).
            Metamorfisme regional dari batulumpur  melibatkan perubahan keduanya baik tekanan dan temperatur secara awal menghasilkan rekristalisasi dan modifikasi dari mineral  lempung  yang  ada. Ukuran butiran secara mikroskopik tetap, tetapi arah yang baru dari orientasi mungkin dapat berkembang sebagai hasil dari gaya stres.  Resultan batuan berbutir halus yang mempunyai belahan batuan yang baik sekali dinamakan  slate. Bilamana  metamorfisme  berlanjut sering  menghasilkan  orientasi dari mineral-mineral pipih pada batuan dan penambahan ukuran butir dari klorit dan  mika.  Hasil dari batuan  yang  berbutir  halus  ini dinamakan  phylit,  sama  seperti slate  tetapi  mempunyai  kilap sutera  pada  belahan permukaannya. Pengujian  dengan  menggunakan  lensa tangan  secara teliti kadangkala memperlihatkan pecahan  porpiroblast yang  kecil  licin mencerminkan permukaan belahannya. Pada tingkat metamorfisme yang lebih tinggi, kristal tampak tanpa lensa.  Disini  biasanya kita  menjumpai mineral-mineral  yang  pipih  dan memanjang  yang  terorientasi  kuat  membentuk  skistosity yang menyolok. Batuan  ini dinamakan skis, masih bisa  dibelah  menjadi lembaran-lembaran.  Umumnya berkembang porpiroblast; hal ini sering  dapat diidentikkan dengan sifat khas  mineral  metamorfik seperti garnet, staurolit, atau  kordierit. Masih  pada metamorfisme  tingkat  tinggi disini  skistosity  menjadi  kurang jelas;  batuan terdiri dari kumpulan butiran sedang sampai  kasar dari tekstur dan mineralogi yang berbeda menunjukkan  tekstur gnessik  dan  batuannya dinamakan gneis. Kumpulan  yang  terdiri dari  lapisan  yang  relatif  kaya kuarsa  dan  feldspar, kemungkinan  kumpulan tersebut terdiri dari  mineral  yang mengandung feromagnesium (mika, piroksin, dan ampibol). Komposisi mineralogi sering  sama  dengan batuan beku, tetapi  tekstur  gnessik  biasanya menunjukkan  asal  metamorfisme; dalam  kumpulan  yang  cukup orientasi  sering  ada. Penambahan  metamorfisme  dapat  mengubah gneis menjadi migmatit. Dalam kasus ini, kumpulan berwarna terang menyerupai batuan beku tertentu, dan perlapisan kaya feromagnesium mempunyai aspek metamorfik tertentu.
Jenis batuan metamorf lain penamaannya hanya berdasarkan pada komposisi mineral, seperti: Marmer disusun hampir semuanya dari kalsit atau dolomit; secara tipikal bertekstur granoblastik. Kuarsit  adalah batuan  metamorfik bertekstur granobastik dengan  komposisi  utama  adalah kuarsa, dibentuk oleh rekristalisasi dari batupasir atau  chert/rijang. Secara  umum  jenis batuan metamorfik yang lain adalah sebagai berikut:
            Amphibolit: Batuan yang berbutir sedang sampai kasar komposisi utamanya  adalah ampibol (biasanya hornblende) dan plagioklas.
            Eclogit: Batuan  yang berbutir  sedang  komposisi  utama adalah  piroksin klino ompasit tanpa plagioklas felspar (sodium dan diopsit kaya alumina) dan garnet  kaya  pyrop. Eclogit mempunyai  komposisi  kimia  seperti basal, tetapi mengandung fase yang lebih berat. Beberapa eclogit berasal dari batuan beku.
            Granulit: Batuan yang berbutir merata terdiri dari mineral (terutama kuarsa,  felspar, sedikit garnet dan piroksin) mempunyai tekstur granoblastik. Perkembangan struktur  gnessiknya lemah mungkin terdiri dari lensa-lensa datar kuarsa dan/atau felspar.
            Hornfels: Berbutir halus,  batuan  metamorfisme  thermal terdiri  dari  butiran-butiran  yang  equidimensional dalam orientasi acak. Beberapa porphiroblast atau sisa fenokris mungkin ada.  Butiran-butiran kasar yang sama disebut granofels.
            Milonit: Cerat berbutir halus atau kumpulan batuan yang dihasilkan oleh pembutiran atau aliran dari batuan yang lebih kasar. Batuan mungkin menjadi protomilonit, milonit, atau ultramilomit, tergantung atas jumlah dari fragmen yang tersisa. Bilamana batuan mempunyai skistosity dengan kilap permukaan sutera, rekristralisasi mika, batuannya disebut philonit.
            Serpentinit: Batuan yang hampir seluruhnya terdiri dari mineral-mineral dari kelompok serpentin. Mineral asesori meliputi klorit, talk, dan karbonat. Serpentinit dihasilkan dari alterasi mineral silikat feromagnesium yang terlebih dahulu ada, seperti olivin dan piroksen.
            Skarn: Marmer yang tidak bersih/kotor yang mengandung kristal dari mineral kapur-silikat seperti garnet, epidot, dan sebagainya. Skarn terjadi karena perubahan komposisi batuan penutup (country rock) pada kontak batuan beku.

Tabel 3.14 Klasifikasi Batuan Metamorf (O’Dunn dan Sill, 1986).


 






















3.6  ACARA VI TEST AKHIR PERAGA

          Acara terakhir ini berupa test baik yang berupa test teori maupun test peraga. Masing-masing mahasiswa diharapkan sudah dapat membedakan berbagai jenis batuan yang ada di laboratorium petrologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Yang dimaksud dengan test teori yaitu mahasiswa harus mampu mengerjakan test secara tertulis dengan materi kuliah maupun materi asistensi pada waktu praktikum. Sedangkan test peraga yaitu mahasiswa harus mampu mengidentifikasi jenis batuan, warna batuan, tekstur batuan, struktur batuan dan komposisi serta nama batuan contoh setangan.
          Pekerjaan terakhir yang harus dilakukan mahasiswa yaitu pembuatan laporan dan melakukan test lapangan yang berupa ekskursi satu hari ke lapangan yang tidak jauh dari kampus yaitu jalur Yogyakarta – Prambanan/ Candi Boko – Watuadeg/Berbah - Piyungan Patuk – Kali Putat – Kali Pentung dan Kali Oyo serta Wonosari. Dalam ekskursi tersebut mahasiswa diharuskan melakukan pemerian sesuai dengan yang pernah dilakukan di bangku kuliah dan membuat laporan akhir berupa pemerian semua batuan dari stop site yang telah ditentukan.








































DAFTAR PUSTAKA


Compton, R. R., 1985, Geology in the field, John Wiley & Sons, New York, p. 1 – 398.

Dunham, R.J., 1962, Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Texture, Amer. Assn, Pet. Geol. Mem. No.1, p.108-121.

Gillen, C., 1982, Metamorphic Geology: An Introduction to Tectonic and Metamorphic Processes , George Allen & Unwin.

Graha, D. S., 1987, Batuan dan Mineral, Penerbit Nova, Bandung.

Huang, W. T., 1962, Petrology, McGraw-Hill Book Company, New York.

Middlemost, E.A.K., 1985, Magmas and Magmatic Rocks: An Introduction to Igneous Petrology, Longman Group Limited.

O’Dunn, S., & Sill, W.D., (1986), Exploring Geology: Introductory Laboratory Activities, A Peek Publication.

Pettijohn, E.J., 1975, Sedimentary Rocks, Third Ed., Harper & Row.

Tucker, M. E., 1991, Sedimentary Petrology: an introduction to the origin of sedimentary rock, Blackwell Scientific Publications.

Winkler, H.G.F., 1967, Petrogenesis of Metamorphic Rocks, 2sd. Ed., Springer Verlag.

Yardley, B.W.D., 1989, An Introduction of Metamorphic Petrology,Longman Scientific & Technical.